Ali Akbar
[Ilustrasi menyusul]
Mushaf Al-Qur'an disalin sesuai dengan ruang dan waktu mushaf itu dibuat. Atau dengan kata lain, sesuai dengan latar budaya dan kondisi zamannya. Lokalitas budaya tempat mushaf disalin merupakan faktor yang ikut menentukan dan mempengaruhi variasi bentuk, motif dan warna iluminasi – demikian pula gaya kaligrafinya, dalam taraf tertentu.
Unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat, terlihat dalam corak iluminasi yang sangat beragam, dan masing-masing daerah memiliki ciri khas sendiri. Iluminasi biasanya dicirikan dengan (1) pola dasar, (2) motif hiasan, dan (3) warna. Iluminasi tersebut lazimnya menghias tiga bagian Al-Qur'an, yaitu di awal, tengah, dan akhir Al-Qur'an. Dalam hal kaligrafi, keunikan mushaf Nusantara di antaranya tampak dalam karakter “kaligrafi berhias” atau “kaligrafi floral”, yaitu komposisi kaligrafi yang bermotif tetumbuhan. Kreativitas tulisan tersebut dituangkan khususnya pada kepala-kepala surah. Unsur kreativitas lokal itu, baik dalam iluminasi maupun kaligrafi, berkembang sangat leluasa dan berkarakter khas, bahkan dalam bentuk makhluk zoomorphic seperti Macan Ali di Cirebon.
Penyalinan Al-Qur'an secara manual terus berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 yang berlangsung di berbagai kota atau wilayah penting masyarakat Islam masa lalu, seperti Aceh, Riau, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Ambon, dan Ternate. Warisan penting masa lalu tersebut kini tersimpan di berbagai museum, perpustakaan, pesantren, ahli waris, dan kolektor, dalam jumlah yang masih cukup banyak.
Pada abad ke-19, dengan berkembangnya teknologi percetakan litografi (cetak batu), penyalinan Al-Qur'an di Nusantara secara tradisional pelan-pelan mulai ditinggalkan, dan beralih pada Al-Qur'an cetak. Al-Qur'an cetak itu kebanyakan berasal dari India, Singapura dan Palembang. Namun, karena distribusi Al-Qur'an cetak awal (early printing) pada waktu itu tidak merata di seluruh wilaah Nusantara, penyalinan Al-Qur'an secara manual itu masih terus berlangsung sampai awal abad ke-20. Sejak saat itu, seiring dengan perkembangan teknologi percetakan yang sangat pesat, penyalinan Al-Qur'an secara manual mualai ditinggalkan, dan tradisi seni Mushaf yang telah berlangsung selama berabad-abad di Nusantara bisa dikatakan telah terhenti.
Setelah hampir satu abad terhenti, sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, era baru dalam kreativitas seni mushaf tumbuh kembali sejak pembuatan Mushaf Istiqlal pada tahun 1991, yang diprakarsai oleh beberapa ahli dari ITB Bandung, seperti Mahmud Buchari, Prof. AD Pirous, Ir. Ahmad Noe’man, dan beberapa sarjana serupa lainnya. Pembuatan Mushaf Istiqlal itu berbarengan dengan penyelenggaraan Festival Istiqlal tahun 1991 dan 1995 di Jakarta. Mulai saat itu, gairah dalam pembuatan mushaf indah tampak tumbuh kembali, dan sampai saat ini telah ada beberapa mushaf, dalam bentuk naskah asli dan cetakan, yaitu Mushaf Sundawi (prakarsa Pemda Jawa Barat, 1997), Mushaf at-Tin (prakarsa keluarga mantan Presiden Soeharto untuk mengenang Ibu Tien, 2000), Mushaf Jakarta (prakarsa Pemda DKI Jakarta, 2002), dan Mushaf Kalimantan Barat (prakarsa Pemda Kalbar, 2003).
Berbeda dengan seni mushaf pada zaman dahulu yang keseluruhannya dibuat secara manual, “mushaf-mushaf kontemporer” ini dibuat dengan memanfaatkan teknologi komputer. Namun, keduanya sama-sama indah, mencerminkan kekayaan khazanah budaya bangsa Indonesia.*
[Ilustrasi menyusul]
Mushaf Al-Qur'an disalin sesuai dengan ruang dan waktu mushaf itu dibuat. Atau dengan kata lain, sesuai dengan latar budaya dan kondisi zamannya. Lokalitas budaya tempat mushaf disalin merupakan faktor yang ikut menentukan dan mempengaruhi variasi bentuk, motif dan warna iluminasi – demikian pula gaya kaligrafinya, dalam taraf tertentu.
Unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat, terlihat dalam corak iluminasi yang sangat beragam, dan masing-masing daerah memiliki ciri khas sendiri. Iluminasi biasanya dicirikan dengan (1) pola dasar, (2) motif hiasan, dan (3) warna. Iluminasi tersebut lazimnya menghias tiga bagian Al-Qur'an, yaitu di awal, tengah, dan akhir Al-Qur'an. Dalam hal kaligrafi, keunikan mushaf Nusantara di antaranya tampak dalam karakter “kaligrafi berhias” atau “kaligrafi floral”, yaitu komposisi kaligrafi yang bermotif tetumbuhan. Kreativitas tulisan tersebut dituangkan khususnya pada kepala-kepala surah. Unsur kreativitas lokal itu, baik dalam iluminasi maupun kaligrafi, berkembang sangat leluasa dan berkarakter khas, bahkan dalam bentuk makhluk zoomorphic seperti Macan Ali di Cirebon.
Penyalinan Al-Qur'an secara manual terus berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 yang berlangsung di berbagai kota atau wilayah penting masyarakat Islam masa lalu, seperti Aceh, Riau, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Ambon, dan Ternate. Warisan penting masa lalu tersebut kini tersimpan di berbagai museum, perpustakaan, pesantren, ahli waris, dan kolektor, dalam jumlah yang masih cukup banyak.
Pada abad ke-19, dengan berkembangnya teknologi percetakan litografi (cetak batu), penyalinan Al-Qur'an di Nusantara secara tradisional pelan-pelan mulai ditinggalkan, dan beralih pada Al-Qur'an cetak. Al-Qur'an cetak itu kebanyakan berasal dari India, Singapura dan Palembang. Namun, karena distribusi Al-Qur'an cetak awal (early printing) pada waktu itu tidak merata di seluruh wilaah Nusantara, penyalinan Al-Qur'an secara manual itu masih terus berlangsung sampai awal abad ke-20. Sejak saat itu, seiring dengan perkembangan teknologi percetakan yang sangat pesat, penyalinan Al-Qur'an secara manual mualai ditinggalkan, dan tradisi seni Mushaf yang telah berlangsung selama berabad-abad di Nusantara bisa dikatakan telah terhenti.
Setelah hampir satu abad terhenti, sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, era baru dalam kreativitas seni mushaf tumbuh kembali sejak pembuatan Mushaf Istiqlal pada tahun 1991, yang diprakarsai oleh beberapa ahli dari ITB Bandung, seperti Mahmud Buchari, Prof. AD Pirous, Ir. Ahmad Noe’man, dan beberapa sarjana serupa lainnya. Pembuatan Mushaf Istiqlal itu berbarengan dengan penyelenggaraan Festival Istiqlal tahun 1991 dan 1995 di Jakarta. Mulai saat itu, gairah dalam pembuatan mushaf indah tampak tumbuh kembali, dan sampai saat ini telah ada beberapa mushaf, dalam bentuk naskah asli dan cetakan, yaitu Mushaf Sundawi (prakarsa Pemda Jawa Barat, 1997), Mushaf at-Tin (prakarsa keluarga mantan Presiden Soeharto untuk mengenang Ibu Tien, 2000), Mushaf Jakarta (prakarsa Pemda DKI Jakarta, 2002), dan Mushaf Kalimantan Barat (prakarsa Pemda Kalbar, 2003).
Berbeda dengan seni mushaf pada zaman dahulu yang keseluruhannya dibuat secara manual, “mushaf-mushaf kontemporer” ini dibuat dengan memanfaatkan teknologi komputer. Namun, keduanya sama-sama indah, mencerminkan kekayaan khazanah budaya bangsa Indonesia.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar