01 April 2009

Naskah Mushaf al-Qur'an Koleksi Perpustakaan Nasional RI, Jakarta


Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI), Jakarta, menyimpan naskah mushaf yang tidak sedikit. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang disunting oleh T.E. Behrend (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan École française d’Extrême-Orient, 1998) menyebutkan adanya 65 Al-Qur'an di PNRI, di samping teks lain yang berkaitan dengan Al-Qur’an yaitu petikan-petikan Al-Qur'an seperti Juz Amma, Surah Yasin, Surah al-Kahf, dan lain-lain (berjumlah 15 naskah); karya-karya tafsir Al-Qur'an, termasuk Tarjumān al-Mustafīd, Tafsīr al-Jalālain, dan Tafsīr al-Bagāwī (berjumlah 26 naskah); dan ilmu-ilmu Al-Qur'an seperti tajwid, qiraat, dan lain-lain (berjumlah 22 naskah). Dalam daftar naskah-naskah tersebut katalog ini mencakup berbagai kumpulan, yaitu Arab (A), Abdurrahman Wahid (AW), J.L.A. Brandes (Br), Von de Wall (W), A.B. Cohen Stuart (CS), Melayu (ML), dan Miscellaneous (M).
Semua naskah mushaf di katalog PNRI berjudul al-Qur’an atau al-Qur’an al-Karim. Naskah dengan judul ini berjumlah 65 buah, yaitu A.46, A.47, A.48, A.49, A.50, A.51a-e, A.52a-k, A.53a-k, A.54a-e, A.205, A.214, A.221, A.265, A.269, A.270, A.271, A.272, A.568a, A.575, A.584, A.600, A.613, A.616, A.618, A.619, A.628, A.630, A.632, A.633, A.635, A.641, A.642, A.645, A.646, A.647, A.648, A.650, A.663, A.680, A.694, A.700, A.733, A.734, A.735, AW.102, AW.104, AW.106, AW.129, AW.4, AW.6, AW.88, AW.91, AW.92, AW.93, AW.94, AW.95, Br.204, M.75x, M.78x, ML.319, ML.542, ML.41, ML.116, ML.290, dan W.278. Namun beberapa di antaranya ternyata bukan naskah mushaf. Naskah ML.41 adalah terjemahan Al-Qur'an tanpa teks ayat. Sedangkan naskah ML.116 adalah terjemahan atau tafsir ringkas Al-Qur'an; teks ayat ditulis dengan warna merah, sedangkan terjemahan ditulis dalam tinta hitam, ditulis secara berlanjut, berselang-seling. Adapun naskah ML.290 bukan Al-Qur'an, tetapi Kitāb as-Sihāh al-Jauharī.
Dalam katalog PNRI, naskah-naskah mushaf dengan judul Al-Qur'an dan Al-Qur'an al-Karim tidak dipilah, antara yang lengkap 30 juz, dan yang hanya berupa petikan beberapa surah. Namun, penelusur naskah akan terbantu dengan keterangan jumlah halaman yang ada, sehingga dapat memperkirakan apakah sebuah naskah mushaf itu lengkap 30 juz atau tidak. Sebuah mushaf lengkap biasanya memiliki halaman sekitar 450 halaman atau lebih. Naskah-naskah dengan judul Al-Qur'an yang memiliki halaman kurang dari jumlah tersebut dapat diperkirakan dengan cepat bukanlah naskah mushaf lengkap. Misalnya, naskah-naskah Al-Qur'an berkode AW (Abdurrahman Wahid), berjumlah 12 naskah, yang semuanya menggunakan kertas kulit kayu. Naskah-naskah yang tampaknya dari khazanah pesantren ini semuanya merupakan petikan Al-Qur'an, pada umumnya bagian awal, dan hanya memiliki halaman sekitar 200 atau kurang. Demikian pula dengan 27 naskah lainnya dalam judul ini, hanyalah merupakan petikan-petikan teks Al-Qur'an yang tidak lengkap.
Keterangan lebih rinci—seperti disarankan oleh T.E. Behrend dalam kata pengantar bukunya—terdapat dalam dua katalog tua khusus naskah-naskah berbahasa Arab. Katalog pertama adalah karya L.W.C. van den Berg & R. Friederich, Codicum Arabicorum in Bibliotheca Societatis Artium et Scientiarum quae Bataviae floret asservatorum catalogum, (Batavia: Bruining et Wijt; Hagae Comitis: M. Nijhoff, 1873), yang memuat naskah-naskah berkode A.1 sampai A.159. Katalog lainnya adalah karya Ph.S. van Ronkel, Supplement to the catalogue of the Arabic manuscripts preserved in the Museum of the Batavia Society of Arts and Sciences, (Batavia: Albrecht, 1913), yang memuat naskah-naskah berkode A.133, dan A.160 sampai A.679.
Kedua katalog ini memuat keterangan naskah-naskah berbahasa Arab lebih rinci, termasuk di dalamnya naskah Al-Qur'an. Naskah-naskah Al-Qur'an dalam katalog van den Berg dimuat dalam “Pars Altera”, bagian kedua katalog ini yang ditulis oleh van den Berg sendiri, yaitu naskah A.46, A.47, A.48, A.49, A.50, A.51a-e, A.52a-k, A.53a-k, A.54a-e. Dalam klasifikasinya, van den Berg menempatkan Al-Qur'an pada urutan pertama di antara cabang-cabang ilmu lain, seperti tafsir, hadis, sejarah, tasawuf, teologi, dan hukum.
Dalam katalog van Ronkel, yang dalam hal pendataan koleksi merupakan kelanjutan dari katalog van den Berg, naskah-naskah yang berkaitan dengan Al-Qur'an (semuanya 71 naskah) disubklasifikasi ke dalam lima kategori, yaitu (1) Al-Qur'an lengkap 30 juz [8 naskah]; (2) petikan-petikan surah [27 naskah]; (3) Al-Qur'an yang disertai terjemahan [2 naskah]; (4) tajwid [9 naskah]; dan (5) tafsir Al-Qur'an [25 naskah]. Katalog ini dengan cepat dapat membantu para penelusur naskah yang berkaitan dengan studi Al-Qur'an, karena klasifikasi dan keterangan yang diuraikannya cukup jelas. Van Ronkel menempatkan klasifikasi yang berkaitan dengan Al-Qur'an ini pada urutan pertama di antara klasifikasi cabang-cabang ilmu lain yaitu hadis, teologi, hukum, sejarah dan biografi, aneka ilmu (sciences), filologi, syair, dan cerita.
Dari naskah-naskah mushaf yang tersimpan di PNRI, di bawah ini akan diuraikan lebih rinci 11 naskah, yaitu A.47, A.49, A.50, A.51a-e, A.52a-k, A.53a-k, A.54a-e, W.278, A.221, A.694, dan Br.204. Pilihan ini karena kesebelas naskah tersebut merupakan naskah dengan kondisi paling baik, dan lengkap 30 juz.

Deskripsi
Berikut adalah deskripsi masing-masing dari kesebelas naskah koleksi PNRI, yaitu A.47, A.49, A.50, A.51a-e, A.52a-k, A.53a-k, A.54a-e, W.278, A.221, A.694, dan Br.204.

1. Naskah A.47
Kondisi Naskah A.47 cukup baik, lengkap 30 juz. Bahan yang digunakannya adalah kertas Eropa, dengan cap kertas “Pro Patria”. Di bagian bawah gambar terdapat huruf “B”, dan cap tandingannya adalah “Blauw & Briel”. Churchill (1935: 13) memberikan keterangan bahwa kertas dengan cap tandingan tersebut diproduksi di Belanda, antara tahun 1724—1825. Naskah ini tidak mempunyai kolofon. Namun, melalui keterangan cap tandingan tersebut, diperkirakan mushaf A.47 dibuat pada sekitar dasawarsa ketiga abad ke-18 sampai dengan paruh pertama abad ke-19.
Tebal naskah 552 halaman; ukuran 30 x 20 cm. Jumlah baris pada halaman 3—550 adalah 15 baris, sedangkan pada halaman beriluminasi 7 baris. Ukuran bidang teks pada halaman 3—550 adalah 20 x 11,5 cm., sedangkan pada halaman beriluminasi 6,2 x 4,8 cm. Naskah ini hanya memuat teks Al-Qur'an, lengkap 30 juz, dan tidak memuat doa atau teks lain di bagian awal dan akhir mushaf. Penataan teks mushaf ini terlihat baik dan terencana, yaitu setiap permulaan juz terletak di halaman baru. Pola iluminasi awal dan akhir mushaf berbeda, keduanya dikerjakan dengan ketelitian yang tinggi. Tidak ada keterangan mengenai asal mushaf ini. Berdasarkan gaya iluminasinya, Annabel Teh Gallop, peneliti naskah Nusantara, memperkirakan bahwa naskah A.47 berasal dari Riau.

2. Naskah A.49
Kondisi mushaf A.49 dapat dikatakan masih sangat baik. Bahan yang digunakan adalah kertas Eropa. Ukuran sampul dan halaman 29 x 21 cm.; jumlah halaman 1001. Ukuran bidang teks 22 x 11 cm., dengan teks 13 baris, kecuali halaman dengan iluminasi khusus pada awal dan akhir mushaf, bidang teksnya berukuran 8,5 x 4 cm., dengan teks 7 baris. Pada akhir mushaf terdapat doa khatam Al-Qur'an, 11 halaman. Kolofon di akhir mushaf menunjukkan bahwa mushaf ini selesai ditulis pada Sya’ban 1143 H (1731 M). Usia mushaf ini termasuk tua, mengingat pada umumnya naskah-naskah Nusantara berasal dari abad ke-19. Nama penulisnya, dalam kolofon bergaya Sikastah, sangat disayangkan, tidak terbaca dengan jelas.
Naskah ini terasa istimewa dengan iluminasi di awal dan akhir mushaf. Warna dominan yang digunakannya adalah coklat dan hitam, dengan penggarapan detail yang baik. Tidak ada keterangan mengenai asal mushaf ini. Namun, melihat iluminasinya, diduga berasal dari Ternate, atau paling tidak wilayah Indonesia Timur, karena ada kemiripan dengan iluminasi mushaf dari Ternate, Samarinda, Sulawesi Selatan, dan Bima. Khususnya dengan mushaf dari Ternate, kemiripannya sangat dekat, bahkan dapat dikatakan sama.

3. Naskah A.50
Naskah ini masih lengkap, 30 juz, dengan kondisi cukup baik, meskipun sebagian berlubang. Ukuran sampul dan halaman 31 x 23 cm, dengan bidang teks 27 x 14 cm. Jumlah halaman 439, masing-masing 17 baris, kecuali halaman awal (Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah) 7 baris, dengan ukuran bidang tulis yang jauh lebih kecil, 11 x 6,5 cm. Kertas yang digunakan licin dan tipis, berbeda dari umumnya kertas Eropa. Permukaan yang ditulis pada awalnya hanya satu muka, yang kemudian dilengketkan dengan halaman berikutnya, sehingga menjadi lembaran dengan tulisan bolak-balik. Qirā’āt sab‘ah ditulis lengkap, pada setiap halaman, di sebelah kanan dan kiri halaman.
Setiap lembar berlatarkan emas dalam motif bunga, yang tampaknya dilukis dengan teknik cap atau sablon. Latar emas ini benar-benar berpengaruh kuat, sehingga menjadikan mushaf ini tampak mewah dan mengesankan. Semua kata “Allah” ditulis merah, semakin menambah kemewahan Al-Qur'an ini. Di halaman depan terdapat kolofon yang menjelaskan bahwa mushaf ini milik Sultan Banten Muhammad ‘Ali ad-Din ibn Sultan Muhammad ‘Arif. Namun tidak ada petunjuk angka tahun penulisannya.

4. Naskah A.51a-e
Naskah ini terdiri atas lima jilid, masing-masing jilid berisi enam juz. Kondisi naskah kurang baik, karena kertas telah cukup parah dimakan tinta. Banyak bagian yang sudah tidak terbaca. Ukuran sampul 31 x 20 cm., dan ukuran halaman 30,5 x 19,5 cm. Jumlah halaman masing-masing jilid, [a] 496, [b] 643, [c] 608, [d] 601, dan [e] 691 halaman.
Di sela-sela teks Al-Qur'an terdapat terjemahan dalam bahasa Melayu. Terjemahan ditulis dengan diakritik (harakat) lengkap, terdiri atas satu atau dua baris. Teks Al-Qur'an ditulis dalam gaya Naskhī mirip Mu¥aqqaq, sedangkan terjemahan ditulis dalam gaya Fārisī, suatu gaya yang sering dipakai untuk menulis tulisan Jawi. Tanda-tanda tajwid dan juz ditulis dengan tinta merah, sedang tanda-tanda ayat berbentuk bundaran berwarna emas. Tidak ada keterangan mengenai asal naskah ini. Namun, melihat karakter hurufnya, diperkirakan naskah ini berasal dari Banten.
Pada permulaan juz empat, naskah ini memiliki hiasan yang sangat indah. Hiasan semacam itu terdapat pada setiap tiga juz, dan setiap halaman diberi bingkai yang indah, dengan komposisi warna (dari garis dalam) merah-merah-hitam-emas-hitam. Hiasan pada permulaan juz digarap dengan ketelitian yang sangat tinggi, mengingatkan pada ketelitian iluminasi mushaf-mushaf dari Persia. Dari segi bentuk, pada dasarnya agak sederhana, dengan hiasan floral bermotif mahkota, berlatar emas. Namun kejelian dan ketelitian penggarapannya benar-benar mengagumkan.

5. Naskah A.52a-k
Naskah mushaf ini terdiri atas sepuluh jilid, masing-masing jilid memuat tiga juz. Setiap jilid diberi kode huruf [a] sampai dengan [k], kecuali huruf [i]. Ukuran naskah ini cukup besar, sampul dan halaman berukuran 53 x 37 cm. Bidang teks berukuran 45 x 25 cm., masing-masing 17 baris. Setiap jilid setebal kurang lebih 1 cm., dengan jumlah halaman masing-masing jilid, [a] 58, [b] 64, [c] 63, [d] 63, [e] 59, [f] 59, [g] 62, [h] 59, [i] 61, dan [k] 65 halaman.
Kondisi naskah cukup baik. Adapun cap kertasnya Strasbourg Lily dalam perisai bermahkota, dengan huruf LVG di bawahnya; cap tandingannya IHS. Sebuah salib menonjol ke atas dari garis lintang di tengah huruf H, dengan kata J Villedary di bawahnya. (Lihat Churchill 1935, no. 538). Tidak ada keterangan mengenai tahun penyalinan naskah ini. Namun, menilik cap kertasnya, naskah ini diperkirakan disalin pada sekitar pertengahan sampai akhir abad ke-18.
Kata “Allah” ditulis dengan tinta merah, dan tanda-tanda baca juz’, ni¡f, £umun, dan rubu‘ ditulis dengan tinta emas. Halaman awal mushaf yang diistimewakan dalam naskah ini adalah Surah al-Fatihah, ditulis di halaman sebelah kanan dan kiri―tidak seperti biasanya, yang digabung dengan awal Surah al-Baqarah. Reka letaknya pun khas, yaitu dalam bentuk segi empat wajik.
Di sebelah kanan dan kiri setiap halaman terdapat keterangan qiraat sab‘ah, yang ditulis dengan komposisi tertentu, menyilang, sehingga tampak rapi dan terencana sedemikian rupa. Tidak ada keterangan mengenai asal naskah ini. Namun, melihat karakter hurufnya, diduga kuat berasal dari Banten.

6. Naskah A.53a-k
Naskah ini mirip dengan naskah A.52 di atas, terdiri atas sepuluh jilid, masing-masing jilid memuat tiga juz. Setiap jilid diberi kode huruf [a] sampai dengan [k], kecuali huruf [i]. Ukuran naskah ini cukup besar, sampul dan halaman berukuran 47,5 x 33 cm. Bidang teks berukuran 44 x 24,5 cm., masing-masing 17 baris. Setiap jilid setebal kurang lebih 1 cm., dengan jumlah halaman masing-masing jilid, [a] 62, [b] 60, [c] 60, [d] 60, [e] 60, [f] 60, [g] 60, [h] 60, [i] 60, dan [k] 66 halaman. Kondisi naskah cukup baik. Tidak ada keterangan mengenai tahun penyalinan naskah ini.
Kata “Allah” ditulis dengan tinta merah, demikian pula tanda-tanda baca ni¡f, £umun, rubu‘, dan maqra’ ditulis dengan tinta merah di bagian pias halaman. Kaligrafi teks Al-Qur'annya dapat dikatakan sama dengan naskah A.52, bergaya Naskhī mirip Mu¥aqqaq.
Di halaman depan naskah ini, sebelum Surah al-Fatihah, terdapat tabel para imam qiraat, dengan kode huruf masing-masing. Tabel ini tentu dimaksudkan sebagai pedoman bagi pembaca mushaf ini yang menyertakan ragam qiraat secara rinci. Surah al-Fatihah ditulis di halaman sebelah kanan dan kiri―tidak seperti biasanya, ditulis di sebelah kanan, digabung dengan awal Surah al-Baqarah di sebelah kiri. Tata letak penulisannya dalam bentuk segi empat kecil, dikitari keterangan ragam qirā’āt sab‘ah.
Di sebelah kanan dan kiri setiap halaman terdapat keterangan qirā’āt sab‘ah, yang ditulis dengan komposisi menyilang, sehingga tampak rapi. Di akhir naskah terdapat doa khatam Al-Qur'an Imam Nawawi. Di antara baris-baris doa tersebut terdapat terjemahan dalam bahasa Jawa yang ditulis dengan gaya tulisan Fārisī berharakat. Tidak ada keterangan mengenai asal naskah ini. Namun, melihat karakter hurufnya, sama dengan naskah A.52, diduga kuat berasal dari Banten.

7. Naskah A.54a-e (terjemahan bahasa Jawa)
Naskah ini terdiri atas lima jilid, masing-masing jilid berisi enam juz. Kondisi naskah masih cukup baik. Tulisan terbaca dengan jelas, hanya saja beberapa bagian terpotong, karena proses penjilidan. Naskah ini termasuk besar, sampul dan halaman berukuran 50,5 x 36 cm. Bidang teks berukuran 43 x 24 cm. Jumlah halaman masing-masing jilid, [a] 346, [b] 355, [c] 242, [d] 332, dan [e] 306 halaman, tebal setiap jilid sekitar 4 cm. Bahan kertas Eropa tebal; tidak ada cap kertas.
Di sela-sela teks Al-Qur'an yang ditulis dengan tinta merah terdapat terjemahan dalam bahasa Jawa yang ditulis dengan tinta hitam. Komposisi penulisan teks Al-Qur'an mengikuti terjemahannya, sehingga kadang-kadang terlihat berspasi sangat renggang. Teks Al-Qur'an ditulis dalam gaya Naskhī mirip Mu¥aqqaq. Terjemahan ditulis dengan gaya tulisan yang sama, dan berharakat lengkap.
Tanda-tanda tajwid dan juz ditulis dengan tinta merah, sedang tanda-tanda ayat berbentuk bundaran berwarna kuning, dengan enam titik kecil di pinggirnya, berwarna hijau dan merah. Naskah ini sangat lengkap, karena di samping adanya terjemahan dan tanda tajwid, dilengkapi pula dengan ragam qirā’āt sab‘ah. Tidak ada keterangan mengenai asal naskah. Namun, melihat karakter hurufnya, dapat diduga kuat berasal dari Banten.

8. Naskah W.278
Naskah yang masuk dalam koleksi Von der Wall ini lengkap 30 juz, dengan kondisi baik. Tulisan dapat terbaca jelas. Ditulis dengan tinta hitam, kecuali kata Allāh dan bagian-bagian tertentu seperti rubu‘, nisf, sajdah dan maqra’ ditulis dengan tinta merah. Ukuran sampul dan halaman 35 x 23,5 cm, dan ukuran bidang teks 23 x 13 cm. Jumlah halaman 379, masing-masing halaman 13 baris, kecuali halaman awal (Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah) 9 baris, dengan ukuran bidang tulis yang jauh lebih kecil, 16 x 7 cm. Tanda-tanda ayat berupa bundaran kuning, dengan garis lingkar (outline) hitam. Kertas yang digunakan adalah kertas Eropa.
Kaligrafi naskah W.278 tampak konstan dari awal hingga akhir, menunjukkan bahwa naskah ini ditulis oleh satu orang. Gaya tulisan yang digunakannya adalah Naskhī dengan pengaruh kuat Naskhī Persia atau India. Tidak ada keterangan mengenai asal naskah. Namun, melihat karakter hurufnya, dapat diduga kuat berasal dari Banten.

9. Naskah A.221
Kondisi mushaf A.221 cukup baik. Bahan yang digunakan adalah kertas Eropa. Ukuran sampul 32 x 22 cm, ukuran halaman 31 x 21 cm, dan ukuran bidang teks 20,5 x 12 cm. Ditulis dengan tinta hitam, dan bagian tertentu dengan warna merah. Jumlah halaman 597, dengan teks 15 baris, kecuali halaman dengan iluminasi khusus pada awal, tengah, dan akhir mushaf, dengan teks 7 baris. Dijilid dengan karton tebal berlapis kertas lurik berwarna hijau.
Gaya kaligrafi pada teks Al-Qur'an tampak tidak terlalu istimewa, dengan gaya Naskhī sederhana. Tulisan konstan, dari awal hingga akhir mushaf, yang mengesankan bahwa naskah ini ditulis oleh satu orang.
Naskah A.221 ini terasa istimewa dengan iluminasi pada awal, tengah, dan akhir mushaf. Warna dominan yang digunakannya adalah merah, kuning, dan hitam, dengan penggarapan detail cukup baik. Kepala surah ditulis dengan teknik negatif, dengan diblok, demikian pula beberapa bagian iluminasi yang lain. Tidak ada kolofon yang menjelaskan mengenai asal mushaf ini. Namun, melihat pola iluminasinya, dengan mudah kita dapat mengenali bahwa mushaf ini berasal dari Aceh.

10. Naskah A.694
Kondisi mushaf A.694 cukup baik. Bahan yang digunakan adalah kertas Eropa. Ukuran sampul dan halaman isi 32 x 22 cm, sementara ukuran bidang teks 21 x 12 cm. Ditulis dengan tinta hitam, dan bagian tertentu dengan warna merah. Jumlah halaman 716, tebal 7 cm. Jumlah baris tulisan 15 baris, kecuali halaman dengan iluminasi khusus pada awal, tengah, dan akhir mushaf. Kolofon di bagian depan, dalam tulisan Latin, terbaca “Dihadiahkan oleh si empunya pada bulan Jumadil Akhir tahun 1257 [1841] di Aceh.”
Teks Al-Qur'an ditulis dengan gaya Naskhī. Tulisan konstan, dari awal hingga akhir mushaf, yang mengesankan bahwa naskah ini ditulis oleh satu orang. Ada ayat-ayat tertentu yang diberi catatan qirā’āt sab‘ah di pinggir halaman. Catatan qiraat ini tidak lengkap sebagaimana beberapa mushaf dari Banten.
Naskah A.694 ini terasa istimewa dengan iluminasi pada awal, tengah, dan akhir mushaf. Warna dominan yang digunakannya, seperti pada umumnya naskah-naskah Aceh, adalah merah, kuning, dan hitam, dengan penggarapan detail cukup baik. Melihat pola iluminasinya, dengan mudah kita dapat mengenali bahwa mushaf ini berasal dari Aceh. Iluminasi naskah-naskah Aceh, baik untuk Al-Qur'an maupun teks-teks keagamaan, meskipun mempunyai detail hiasan yang beragam, namun pola pokok dan warna yang dipakai relatif seragam dan mudah dikenali.
Iluminasi dalam mushaf ini terdapat di awal, tengah, dan akhir mushaf. Sebelum iluminasi juz ke-16 terdapat iluminasi tunggal sisa ayat akhir juz 15, dan hal yang sama juga terdapat pada Surah al-Ikhlā¡, sebelum iluminasi Surah al-Falaq dan an-Nās. Hiasan setiap permulaan juz terdapat di samping kiri atau kanan teks. Hiasan tersebut pada setiap juz berbeda-beda, memberikan kesan artistik yang sangat kaya.

11. Naskah Br.204
Kondisi mushaf Br.204 cukup baik. Bahan yang digunakan adalah kertas Eropa. Naskah ini berukuran kecil, 21 x 14,5 cm. Ditulis dengan tinta hitam, dan bagian tertentu dengan warna merah. Jumlah halaman 422, dengan teks 13 baris, kecuali halaman dengan iluminasi khusus pada awal, tengah, dan akhir mushaf, dengan teks 7 baris.
Gaya kaligrafi teks Al-Qur'an yang digunakan adalah Naskhī sederhana. Tulisan konstan, dari awal hingga akhir mushaf, mengesankan bahwa naskah ini ditulis oleh satu orang. Pada akhir mushaf terdapat doa berjudul “Inilah doa khatam Al-Qur'an”.
Naskah Br.204 memuat iluminasi pada awal dan tengah mushaf, dan tidak ada iluminasi pada akhir mushaf sebagaimana biasanya. Warna dominan yang digunakannya adalah merah, kuning, dan hitam, dengan penggarapan detail cukup baik. Tidak ada kolofon yang menjelaskan mengenai asal mushaf ini. Namun, melihat iluminasinya, dengan mudah kita dapat mengenali bahwa mushaf ini berasal dari Aceh. *
[Tulisan ini merupakan cuplikan tesis, dengan penyesuaian di sana sini].

29 Maret 2009

Bibliografi Kajian Mushaf Al-Qur'an Nusantara


Buku
Atjeh, Aboebakar. 1989. Sejarah Al-Qur'an. Solo: Ramadhani. Cetakan ke-6 [Cetakan ke-1 tahun 1948].
Bafadhal, Fadhal AR dan Anwar, Rosehan. 2005. Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan
Syarif, M Ibnan. 2003. Ketika Mushaf Menjadi Indah. Semarang: Aini
Zain, Dzul Haimi Md. 2007. Ragam Hias Al-Qur'an di Alam Melayu. Kuala Lumpur: Utusan Publications and Distributors

Booklet
1997. Penulisan Al-Qur'an Mushaf Sundawi Jawa Barat.
Booklet Mushaf at-Tin [tahun?]

Bagian dari buku, Jurnal
Akbar, Ali. 2004. ”Menggali Khazanah Kaligrafi Nusantara: Telaah Ragam Gaya Tulisan dalam Mushaf Kuno”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 2 (1): 57-72
Akbar, Ali. 2005. ”Memperindah Firman Allah: Beberapa Aspek Kodikologi MS A.47 Koleksi Perpustakaan Nasional, Jakarta”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 3 (2): 219-233
Akbar, Ali. 2005a. ”Mushaf-mushaf Banten: Mencari Akar Pengaruh”, dalam Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, h. 97-109
Akbar, Ali. 2006. ”Tradisi Lokal, Tradisi Timur Tengah, dan Tradisi Persia-India: Mushaf-mushaf Kuno di Jawa Timur”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 4 (2): 242-261
Akbar, Ali. 2006. "Beberapa Aspek Mushaf Kuno Indonesia". Jakarta, Dialog, No.61, Th.29, h. 78-93
Akbar, Ali. 2007. ”Tracing Individual Styles: Islamic Calligraphy from Nusantara”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 5 (2): 244-255. [Diterjemahkan oleh Dr. Annabel Teh Gallop]
Al-Haqiri, M Syatibi. 2005. ”Menelusuri Al-Qur'an Tulisan Tangan di Lombok”, dalam Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, h. 142-168
Anwar, Rosehan. 2005. ”Mushaf Kuno di Palembang”, dalam Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, h. 68-96
Arsyad, Harisun. 2006. ”Menelusuri Khazanah Mushaf Kuno di Aceh”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 4 (2): 214-241
Behrend, Tim. 2005. “Frontispiece Architecture in Ngayogyakarta: Notes on Structure and Sources”, Paris: Archipel 69, h. 39-60
Buchari, Mahmud. 1991. “Mushaf al-Qur'an Istiqlal”, dalam Joop Ave (ed.), Nafas Islam Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Kementerian Parpostel, h. 136-151
Buchari, Machmud. 1992. “The Mushaf of Al-Qur’an at Istiqlal”. London: Arts & The Islamic World, No. 21.
Fathoni, Ahmad. 2005. ”Sebuah Mushaf dari Sumedang”, dalam Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, h. 124-141
Gallop, Annabel Teh and Akbar, Ali. 2006. “The Art of the Qur’an in Banten: Calligraphy and Illumination”, Paris: Archipel 72, h. 95-156
Gallop, Annabel Teh. 2002. “Seni Hias Manuskrip Melayu” dalam Warisan Manuskrip Melayu, Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia, h. 233-259
Gallop, Annabel Teh. 2004. “An Acehnese Style of Manuscript Illumination”, Paris: Archipel 68, h. 193-240
Gallop, Annabel Teh. 2004a. ”Seni Mushaf di Asia Tenggara”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 2 (2): 121-143 [diterjemahkan oleh Ali Akbar. Versi bahasa Inggris berjudul ”The Art of Qur’an in Southeast Asia”, dalam Fahmida Suleman (ed.), Word of God, Art of Man: The Qur’an and Its Creative Expression, (London: Oxford University Press and The Institute of Ismaili Studies, 2007, h. 191-204]
Gallop, Annabel Teh. 2005. “Seni Naskah Islam di Asia Tenggara”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 3 (1): 1-29 [diterjemahkan oleh Ali Akbar. Versi bahasa Inggris berjudul ”Islamic Manuscript Art of Southeast Asia”, dalam James Bennett (ed.), Crescent Moon: Islamic Art & Civilisation in Southeast Asia, Adelaide-Canberra: Art Gallery of South Australia-National Gallery of Australia, 2005-2006, h. 158-183]
Gallop, Annabel Teh. 2005a. ”The Spirit of Langkasuka? Illuminated Manuscripts from the East Coast of the Malay Peninsula”. London, Indonesia and the Malay World, 33 (96): 113-182
Hanafie, Komar. 1991. “Perkembangan al-Qur’an di Indonesia: Sebuah Telaah Kronologis”. Naskah dan Buku [Katalog pameran]. Jakarta: Festival Istiqlal I.
Munawiroh. 2005. ”Mushaf Kuno di Kalimantan Timur”, dalam Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, h. 220-236
Munawiroh. 2007. “Mushaf Kuno di Provinsi Sulawesi Tenggara”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 5 (1): 19-38
Peeters, Jeroen. 1995. ”Palembang Revisited: Further Notes on the Printing Establishment of Kemas Haji Muhammad Azhari, 1848”. International Institute for Asian Studies (IIAS) Yearbook 1995, h. 181-190
Saefullah, Asep. 2005. “Kesucian dalam Keindahan: Seni Mushaf Al-Qur’an dari Pulau Sumbawa”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 3 (2): 234-260
Saefullah, Asep. 2007. “Ragam Hiasan Mushaf Kuno Koleksi Bayt Al-Qur'an & Museum Istiqlal Jakarta”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 5 (1): 39-62
Saefullah, Asep. 2008. ”Aspek Rasm, Tanda Baca dan Kaligrafi pada Mushaf-mushaf Kuno Koleksi Bayt Al-Qur'an & Museum Istiqlal, Jakarta”. Jakarta: Suhuf, 1 (1): 87-110
Shohib, Muhammad. 2005. ”Manuskrip Al-Qur'an di Kalimantan Barat”, dalam Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, h. 169-212
Sudrajat, Enang. 2005. ”Mushaf Kuno Jawa Barat”, dalam Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, h. 110-123
Surur, Bunyamin Yusuf. 2005. ”Mushaf Kuno di Sulawesi Selatan”, dalam Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, h. 237-259
Sya’roni, Mazmur. 2003. “Beberapa Aspek Mushaf Kuno di Sumatra”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 1 (2): 174-189
Sya’roni, Mazmur. 2005. ”Ragam Penulisan Mushaf Kuno di Riau”, dalam Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, h. 1-67
Syukri, M Abdan. 2005. Mushaf Syekh al-Banjari”, dalam Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, h. 213-219
Wieringa, EdMiringwin P. 2009. ”Some Javanese Characteristics of a Qur’an Manuscripts from Surakarta”, dalam Stefanie Brinkmann/Beate Wiesmüller, From Codicology to Technology: Islamic Manuscripts and their Place in Scholarship. Berlin: Frank & Timme, 2009, h. 101-129
Yoesqi, Moh. Isom. 2005. ”Penulisan Mushaf Al-Qur'an di Kedaton Kesultanan Ternate”, dalam Fadhal AR Bafadhal dan Rosehan Anwar, Mushaf-mushaf Kuno di Indonesia. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, h. 260-283
Yunardi, E Badri. 2007. ”Beberapa Mushaf Kuno dari Provinsi Bali”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 5 (1): 1-18

Koran, Majalah
Ahmad, Hamid. 1990. “Tangan-tangan Penuh Cinta Menuliskan Kalam Tuhan”. Jakarta: Pelita, 2 Desember.
Ahmad, Hamid. 1991. “Mushaf al-Qur’an Kuno Asli Indonesia”. Jakarta: Pelita, 11 November.
Akbar, Ali. 2008. ”Tradisi Penyalinan Al-Qur'an di Aceh”. Jakarta: Republika, 7 Agustus 2008
Buchari, Machmud. 1991. “Menuju Qur’an Resmi Beriluminasi Khas Indonesia”. Bandung: Mitra Desa, Oktober.
Gallop, Annabel Teh. 2003. ”A Remarkable Penang Qur’an Manuscript”. Heritage Asia, h. 38-41 [Edisi Desember 2003 – Februari 2004]
Hadebae, Rahmat. 1991. “Quran Berbaju Indonesia”. Jakarta: Editor No. 25, 2 Maret.
Hidayat, Syarif. 1991. “Mushaf sebagai Jiwa Naskah Islami”. Bandung: Mitra Desa, 25 Oktober.

Belum terbit (Makalah, Tesis, dan Disertasi)
Akbar, Ali. 2005. ”Kaligrafi dalam Mushaf Kuno Nusantara: Telaah Naskah-naskah Koleksi Perpustakaan Nasional RI”. Tesis Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Jakarta, 2005
Akbar, Ali. 2008. “Membaca Ulang Kolofon Mushaf Al-Qur'an Sultan Ternate”. Makalah dalam Temu Riset Nasional Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, Yogyakarta, 13-16 Oktober 2008
Gallop, Annabel Teh. 2005. ”The Universal and the Particular in Qur’an Manuscripts from Southeast Asia”. Makalah untuk Oxford Centre for Islamic Studies, 18 Mei.
Gallop, Annabel Teh. 2005a. ”Manuscript Art of Kelantan: Between Terengganu and Patani”. Makalah dalam International Seminar: The Spirit and Form of Malay Design, Kuala Lumpur, Muzium Negara, 27-29 Juni.
Gallop, Annabel Teh. 2007. ”Migrating Manuscript Art: Sulawesi Diaspora Styles of Illumination”. Makalah dalam seminar di Universitas Sydney, Sydney, 21 Juni.
Gallop, Annabel Teh. 2007a. “The Art of the Qur’an in Brunei: A Preliminary Note”. Makalah Seminar Sejarah Borneo, Pusat Sejarah Brunei, 3-5 Desember.
Gallop, Annabel Teh. 2008. “From Caucasia to Southeast Asia: Daghestani Qur’ans and the Islamic Manuscript Tradition in Brunei and Southern Philippines”. Makalah yang disiapkan untuk majalah Manuscripta Orientalia.
Gallop, Annabel Teh. 2008a. ”The Art of Qur’an in Java: Some Preliminary Observations”. Makalah dalam Islamic Area Studies Conference, Kuala Lumpur, 22-24 November.
Gazali, M. “Ornamen Nusantara: Studi tentang Ornamen Mushaf Istiqlal”. Disertasi Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1998

Bacaan Terkait [tanda * belum terbit]
Fathoni, Ahmad. 2005. ”Mushaf Kuno Qiraat Imam Nafi’ Riwayat Qalun dari Yaman Selatan”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 3 (2): 204-218
Gallop, Annabel Teh. 2004. “Ottoman Influences in the Seal of Sultan Alauddin Riayat Syah of Aceh (r. 1589-1604)”. London, Indonesia and the Malay World, 32 (93): 176-190
Gallop, Annabel Teh. 2005. “Beautifying Jawi: Between Calligraphy and Palaeography”. Asmah Haji Omar (ed.), Malay Images, Universiti Pendidikan Sultan Idris, h. 194-233
Gallop, Annabel Teh. 2005a. ”Artists and Audiences: Illumination in Malay Literary Manuscripts”. Makalah untuk SOAS Southeast Asia Departemental Seminar, 25 Mei.*
Gallop, Annabel Teh. 2006. “Golden Words from Johor: A Royal Malay Letter from Temenggung Daing Ibrahim to Emperor Napoleon III of France”. Makalah dalam International Seminar on Malay Manuscripts, National Archives of Malaysia & National Library of Malaysia, Kuala Lumpur, 10-11 Juli.*
Gallop, Annabel Teh. 2007. “Was the Mousedeer Peranakan? In Search of Chinese Islamic Influences on Malay Manuscript Art”.*
Gallop, Annabel Teh. 2008. ”Palace and Pondok: Artistic Patronage on the East Coast of the Malay Peninsula”, makalah dalam Seminar Seni Ukir Kayu Melayu: Warisan Nik Rashiddin Nik Hussein, Kelantan, 24-26 November.*
Johns, A.H. 1996. “In the Language of the Divine: The Contribution of Arabic” dalam Ann Kumar and John H. McGlynn. 1996. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta: Lontar Foundation - New York and Tokyo: Weatherhill, Inc.
Yunardi, Badri. 2006. ”Mushaf Qur’an Majid Zu Turjumah Bahasa Urdu”. Jakarta, Jurnal Lektur Keagamaan, 4 (2): 262-292
Zuriati. 2008. ”Ragam Motif pada Iluminasi Naskah-naskah Minangkabau” makalah dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XII, Manassa, Universitas Padjadjaran, Bandung, 4-7 Agustus 2008*

Aceh

Mushaf Aceh dalam Berbagai Koleksi

Al-Qur'an dari Aceh—yang mudah dikenali dari bentuk, motif dan warna hiasannya—kini telah menjadi koleksi berbagai lembaga di dalam dan luar negeri. Di Aceh sendiri, tiga lembaga penting yang mengoleksi sejumlah naskah Al-Qur'an Aceh, yaitu Museum Negeri Nanggroe Aceh Darussalam mengoleksi sebanyak 32 Al-Qur'an Aceh [Kepala museum mengatakan memiliki koleksi Jl. Sultan Alauddin Syah, Banda Aceh, 70 naskah]; Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy Jl. Sudirman no.20 Banda Aceh mengoleksi 20 Al-Qur'an; dan Dayah Tanoh Abee, Seulimum, Ujong Mesjid, Aceh Besar, mengoleksi 23 buah. Selain tiga lembaga tersebut, di Aceh, sejumlah Al-Qur'an juga dimiliki oleh perorangan yang merupakan ahli waris keluarga.
Di Jakarta, Perpustakaan Nasional RI mengoleksi 7 buah Al-Qur'an Aceh. Di luar negeri, Perpustakaan Nasional Malaysia, Kuala Lumpur, mengoleksi 4 buah Al-Qur'an Aceh; dan Islamic Arts Museum Malaysia, Kuala Lumpur, mengoleksi satu buah. Sementara di negeri Belanda, karena perjalanan sejarah, Universitas Leiden mengoleksi 7 buah Al-Qur'an Aceh; Koninklijk Instituut voor de Tropen, Amsterdam, mengoleksi 7 buah; Rijkmuseum voor Volkenkunde, Leiden, mengoleksi 6 buah; dan Nijmeegs Volkenkundig Museum, Universiteitsbibliotheek van Amsterdam, Universiteitsbibliotheek, Utrecht, serta Wereldmuseum, Roterdam, masing-masing mengoleksi satu buah Al-Qur'an dengan hiasan khas Aceh. Di luar data ini, baik di dalam mapun di luar negeri, diperkirakan masih banyak terdapat Al-Qur'an dari Aceh yang tidak tercatat.
Sementara itu, Dr Fakhriati, asal Aceh, memberikan informasi bahwa Saiful Bahri, Lingom Samahani Aceh Besar, menyimpan 5 naskah; Jauhari, Lam Alue, Aceh Besar, menyimpan 6 naskah; Bu Khairani, Simpang, Kec Gulumpang Minyeuk, Pidie, menyimpan 1 naskah; dan terakhir, Syik Jah Cot Baroh, Pidie, menyimpan 1 naskah Al-Qur'an.

[Catatan: Jika Anda memiliki informasi lebih jauh mengenai keberadaan al-Qur'an Aceh, di mana pun, mohon sampaikan kepada kami melalui "komentar" di bawah ini. Informasi Anda sangat kami perlukan untuk melengkapi penelusuran ini.]

21 Maret 2009

Tradisi Penyalinan Mushaf Al-Qur’an di Aceh

Ali Akbar, Bayt Al-Qur'an & Museum Istiqlal, Jakarta

Pada mulanya adalah Aceh
Penulisan mushaf Al-Qur’an telah dimulai sejak abad ke-7 M (abad pertama Hijri). Empat atau lima salinan pertama Al-Qur’an pada masa Khalifah Usmān bin ‘Affān yang dikirim ke beberapa wilayah Islam, pada tahun 651, selanjutnya menjadi naskah baku bagi penyalinan Al-Qur’an—disebut Rasm Usmānī. Dari naskah itulah kemudian, pada abad-abad selanjutnya, semua salinan Al-Qur’an dibuat.
Di Nusantara, penyalinan Al-Qur'an diperkirakan dimulai dari Aceh, sejak sekitar abad ke-13, ketika Pasai, di pesisir ujung timur laut Sumatra, menjadi kerajaan pertama di Nusantara yang memeluk Islam secara resmi melalui pengislaman sang raja, yaitu Sultan Malik as-Saleh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam sejak awal atau pertengahan abad ke-13 merupakan hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi para pedagang Muslim sejak abad ke-7, dan seterusnya. Meskipun demikian, kita tidak menemukan Al-Qur’an dari abad ke-13 itu, dan Al-Qur’an tertua dari kawasan Nusantara yang diketahui sampai saat ini berasal dari akhir abad ke-16. Penyalinan Al-Qur’an secara tradisional berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 yang berlangsung di berbagai kota atau wilayah penting masyarakat Islam masa lalu, seperti Aceh, Riau, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Ternate, dan lain-lain. Warisan penting masa lampau tersebut kini tersimpan di berbagai perpustakaan, museum, kolektor, pesantren, masjid, serta ahli waris, dan paling banyak berasal dari abad ke-19.

Khazanah Al-Qur’an Nusantara
Penyalinan Al-Qur’an dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam, baik para penyalin profesional, santri, maupun para ulama. Pada awal abad ke-19 Abdullah bin Abdul Kadir al-Munsyi memperoleh uang dari menyalin Al-Qur’an. Para santri di berbagai pesantren menyalin Al-Qur'an terutama untuk kepentingan pengajaran. Sementara, beberapa ulama terkenal juga dikatakan pernah menyalin Al-Qur'an. Penyalinan juga dilakukan oleh para ulama atau pelajar yang tengah memperdalam ilmu agama di Mekah. Pada abad ke-16 sampai 19 M, Mekah selain berfungsi sebagai tempat menunaikan haji, juga merupakan pusat studi Islam.
Dewasa ini, naskah-naskah Al-Qur'an Nusantara banyak disimpan di lembaga-lembaga pemerintah di Malaysia, Indonesia, Belanda, serta beberapa tempat lain. Namun, di antara kekayaan Al-Qur’an Nusantara itu, naskah-naskah di Indonesia diperkirakan tetap merupakan yang terbanyak, dimiliki baik oleh pribadi, museum, masjid, maupun pesantren. Inventarisasi dan penelitian mengenai Al-Qur’an yang dilakukan di berbagai daerah oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, sejak tahun 2003 hingga 2005, serta data lainnya, memperlihatkan bahwa naskah Al-Qur’an di Indonesia dapat dikatakan masih cukup banyak, yaitu sekitar 300 naskah. Keberadaan Al-Qur’an di berbagai wilayah dan lapisan masyarakat itu menunjukkan bahwa penyalinanan Al-Qur’an pada masa lampau cukup merata di Nusantara.

Al-Qur’an Aceh dalam berbagai koleksi dunia
Al-Qur'an dari Aceh—yang mudah dikenali dari bentuk, motif dan warna hiasannya—kini telah menjadi koleksi berbagai lembaga di dalam dan luar negeri. Di Aceh sendiri, tiga lembaga penting yang mengoleksi sejumlah naskah Al-Qur'an, yaitu Museum Negeri, Jl. Sultan Alauddin Syah, Banda Aceh, mengoleksi sekitar 70-an naskah Al-Qur'an, 32 di antaranya Al-Qur'an 30 juz; Yayasan Pendidikan Ali Hasjmy, Jl. Sudirman no.20 Banda Aceh, mengoleksi 20 Al-Qur'an; dan Dayah Tanoh Abee, Seulimum, Ujong Mesjid, Aceh Besar, mengoleksi 23 buah. Selain tiga lembaga tersebut, di Aceh, sejumlah Al-Qur'an juga dimiliki oleh perorangan yang merupakan ahli waris keluarga. Di Jakarta, Perpustakaan Nasional RI mengoleksi 7 buah Al-Qur'an Aceh. Di luar negeri, Perpustakaan Nasional Malaysia, Kuala Lumpur, mengoleksi 4 buah Al-Qur'an Aceh; dan Islamic Art Museum Malaysia, Kuala Lumpur, mengoleksi satu buah. Sementara di negeri Belanda, karena perjalanan sejarah, Universitas Leiden mengoleksi 7 buah Al-Qur'an Aceh; Koninklijk Instituut voor de Tropen, Amsterdam, mengoleksi 7 buah; Rijkmuseum voor Volkenkunde, Leiden, mengoleksi 6 buah; dan Nijmeegs Volkenkundig Museum, Universiteitsbibliotheek van Amsterdam, Universiteitsbibliotheek, Utrecht, serta Wereldmuseum, Rotterdam, masing-masing mengoleksi satu buah Al-Qur'an dengan hiasan khas Aceh. Di luar data ini, baik di dalam mapun di luar negeri, diperkirakan masih banyak terdapat Al-Qur'an dari Aceh yang tidak tercatat.

Gaya iluminasi khas Aceh
Iluminasi (illumination)—dari akar kata illuminate, berarti to light up, to make bright, to decorate—yaitu hiasan naskah yang bersifat abstrak, tidak fungsional menjelaskan teks seperti ilustrasi, dan berfungsi semata “menerangi”, atau sebagai “penerang” bagi teks yang disajikan. Di dalam Al-Qur'an, iluminasi biasanya menghiasi bagian awal, tengah, dan akhir Al-Qur'an. Hiasan di ketiga tempat ini merupakan bagian yang sangat penting dalam seni naskah Al-Qur'an, dan terdapat di hampir seluruh Al-Qur'an Nusantara. Ragam hias yang digunakan terutama adalah ragam hias floral (tetumbuhan) dan geometris. Namun, berbeda dengan Al-Qur'an dari negeri-negeri Islam di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, dan Persia yang banyak menggunakan ragam hias geometris, di samping floral, Al-Qur'an Nusantara kebanyakan menggunakan ragam hias floral, dan tidak terlalu banyak ragam geometris.
Al-Qur’an dari Aceh memiliki gaya khas, dan biasanya mudah diidentifikasi dengan jelas melalui pola dasar, motif hiasan, dan pewarnaannya. Iluminasi khas itu biasanya terdapat di bagian awal, tengah, dan akhir Al-Qur’an. Iluminasi dua halaman simetris di awal Al-Qur'an berisi Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah. Tradisi pemberian iluminasi di bagian ini terdapat di dalam Al-Qur'an dari berbagai daerah Nusantara, dan merupakan tradisi penting penyalinan Al-Qur'an di dunia Islam pada umumnya.
Iluminasi di bagian tengah Al-Qur'an, khususnya dalam tradisi penyalinan Al-Qur'an di Aceh, hampir bisa dipastikan berisi permulaan juz ke-16. Hal ini berbeda dari tradisi penyalinan Al-Qur'an di Nusantara lainnya, karena iluminasi tengah Al-Qur'an, selain berisi permulaan juz ke-16 itu, kadang-kadang juga berisi permulaan Surah al-Isra’ atau permulaan Surah al-Kahf. Namun, sebagaimana tradisi iluminasi Al-Qur'an di dunia Islam, demikian juga dan Nusantara, tidak semua naskah Al-Qur'an Aceh beriluminasi di bagian tengah. Ada sebagian Al-Qur'an yang hanya beriluminasi di awal dan akhir naskah.
Dalam tradisi Aceh, naskah-naskah Al-Qur'an yang beriluminasi di awal juz ke-16 banyak yang mengesankan seakan-akan Al-Qur'an itu dibagi menjadi dua bagian, juz 1-15 dan juz 16-30, meskipun kedua bagian itu selalu dalam satu jilid. Pembagian itu kadang-kadang tampak cukup tegas, karena di akhir juz 15 banyak yang ditandai dengan semacam garis khusus dalam bentuk segi tiga, bahkan kadang-kadang dibubuhi kata tamm (selesai, tamat). Adapun iluminasi di akhir Al-Qur'an, sama dengan tradisi lain di Nusantara dan dunia Islam, berisi Surah al-Falaq dan Surah an-Nas, kedua surah terakhir Al-Qur'an.
Beberapa gaya iluminasi terpenting seni mushaf Nusantara yang saat ini sudah teridentifikasi—berdasarkan kajian dan observasi—di antaranya adalah gaya Aceh, Bugis, Jawa, Lombok, Banten, serta Patani dan Terengganu di Pantai Timur Semenanjung Malaysia.
Pola dasar iluminasi Al-Qur'an khas Aceh biasanya dicirikan dengan (1) bentuk persegi, dengan garis vertikal di sisi kanan dan kiri, yang menonjol ke atas dan ke bawah, biasanya dalam bentuk lancip atau lengkungan; (2) bentuk semacam kubah atau mahkota di bagian atas, bawah, dan sisi luar; (3) hiasan semacam kuncup di ujung masing-masing kubah tersebut; dan (4) hiasan sepasang “sayap” kecil di sebelah kiri dan kanan halaman iluminasi.
Iluminasi khas tersebut tidak hanya terdapat dalam Al-Qur’an, namun juga dalam naskah-naskah keagamaan selain Al-Qur'an, dan ada pula dalam naskah hikayat, namun dengan struktur pola yang berbeda. Pola dan motif sulur dalam iluminasi Aceh bervariasi, namun secara umum memperlihatkan standar pola tertentu, dan dalam pewarnaan dapat dikatakan selalu seragam, sehingga mudah dikenali.
Warna yang dipakai terutama adalah merah, kuning, hitam, dan putih, namun tidak menggunakan tinta atau cat putih, tetapi warna kertasnya itu sendiri. Warna lain yang digunakan pula, meskipun jarang, adalah biru. Warna ini khususnya digunakan dalam pola iluminasi mushaf Aceh yang berbeda.

Kaligrafi berhias
Meskipun Aceh telah memiliki tradisi yang panjang dalam penyalinan naskah, dan huruf Arab telah dipakai selama berabad-abad, sejauh ini belum dapat diidentifikasi adanya suatu gaya tulisan khas Aceh yang bisa dianggap baku. Sebenarnya ini merupakan gejala umum di Nusantara, karena di kawasan terjauh dari pusat Islam ini, tulisan Arab tampaknya tidak pernah benar-benar menjadi suatu “disiplin” seni tulis-menulis—berbeda dengan kawasan dunia Islam pada umumnya. Meskipun demikian, di Aceh terdapat suatu gaya tulisan khas yang sangat unik. Dalam naskah selain Al-Qur'an biasanya muncul pada kata kumulai atau al-kalam, yang sering menjadi kata pertama dalam suatu teks. Kata pembuka itu memperoleh perhatian khusus dari penyalin, dan huruf kaf-nya sering dihias sedemikian rupa, dan diberi warna merah.
Dalam naskah Al-Qur'an, kaligrafi unik khas Aceh muncul pada tulisan juz, nisf (setengah juz), rubu’ (seperempat juz), dan sumun (seperdelapan juz) yang terletak di sisi luar halaman teks Al-Qur'an. Dalam sebagian naskah, tulisan yang merupakan “tanda pembacaan Al-Qur'an” itu tampak tidak mengutamakan keterbacaan, namun lebih mengedepankan ekspresi artistik tertentu, sebagai bagian dari dekorasi mushaf. Dilihat dari segi huruf, komposisi tulisan itu tidak mudah dibaca. Namun, tampaknya memang bukan keterbacaan itu yang ingin dicapai penulisnya, melainkan sekadar memberikan tanda bahwa di tempat tersebut terdapat tanda pembacaan, dan itu dilakukan dengan suatu komposisi artistik tertentu, sesuai dengan motif hiasan floral khas Aceh. Komposisi itu sangat mungkin digubah oleh iluminator naskah, bukan oleh penyalin teks Al-Qur'annya.*

[Artikel ini pada awalnya merupakan brosur Pameran Mushaf Al-Qur'an di Banda Aceh, 29 Juni - 4 Juli 2008, dan dengan beberapa penyempurnaan pernah dimuat di Harian Republika, 7 Agustus 2008]


Seni Mushaf Nusantara dari Masa ke Masa

Ali Akbar

[Ilustrasi menyusul]

Mushaf Al-Qur'an disalin sesuai dengan ruang dan waktu mushaf itu dibuat. Atau dengan kata lain, sesuai dengan latar budaya dan kondisi zamannya. Lokalitas budaya tempat mushaf disalin merupakan faktor yang ikut menentukan dan mempengaruhi variasi bentuk, motif dan warna iluminasi – demikian pula gaya kaligrafinya, dalam taraf tertentu.
Unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat, terlihat dalam corak iluminasi yang sangat beragam, dan masing-masing daerah memiliki ciri khas sendiri. Iluminasi biasanya dicirikan dengan (1) pola dasar, (2) motif hiasan, dan (3) warna. Iluminasi tersebut lazimnya menghias tiga bagian Al-Qur'an, yaitu di awal, tengah, dan akhir Al-Qur'an. Dalam hal kaligrafi, keunikan mushaf Nusantara di antaranya tampak dalam karakter “kaligrafi berhias” atau “kaligrafi floral”, yaitu komposisi kaligrafi yang bermotif tetumbuhan. Kreativitas tulisan tersebut dituangkan khususnya pada kepala-kepala surah. Unsur kreativitas lokal itu, baik dalam iluminasi maupun kaligrafi, berkembang sangat leluasa dan berkarakter khas, bahkan dalam bentuk makhluk zoomorphic seperti Macan Ali di Cirebon.
Penyalinan Al-Qur'an secara manual terus berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 yang berlangsung di berbagai kota atau wilayah penting masyarakat Islam masa lalu, seperti Aceh, Riau, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Ambon, dan Ternate. Warisan penting masa lalu tersebut kini tersimpan di berbagai museum, perpustakaan, pesantren, ahli waris, dan kolektor, dalam jumlah yang masih cukup banyak.
Pada abad ke-19, dengan berkembangnya teknologi percetakan litografi (cetak batu), penyalinan Al-Qur'an di Nusantara secara tradisional pelan-pelan mulai ditinggalkan, dan beralih pada Al-Qur'an cetak. Al-Qur'an cetak itu kebanyakan berasal dari India, Singapura dan Palembang. Namun, karena distribusi Al-Qur'an cetak awal (early printing) pada waktu itu tidak merata di seluruh wilaah Nusantara, penyalinan Al-Qur'an secara manual itu masih terus berlangsung sampai awal abad ke-20. Sejak saat itu, seiring dengan perkembangan teknologi percetakan yang sangat pesat, penyalinan Al-Qur'an secara manual mualai ditinggalkan, dan tradisi seni Mushaf yang telah berlangsung selama berabad-abad di Nusantara bisa dikatakan telah terhenti.
Setelah hampir satu abad terhenti, sejak akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, era baru dalam kreativitas seni mushaf tumbuh kembali sejak pembuatan Mushaf Istiqlal pada tahun 1991, yang diprakarsai oleh beberapa ahli dari ITB Bandung, seperti Mahmud Buchari, Prof. AD Pirous, Ir. Ahmad Noe’man, dan beberapa sarjana serupa lainnya. Pembuatan Mushaf Istiqlal itu berbarengan dengan penyelenggaraan Festival Istiqlal tahun 1991 dan 1995 di Jakarta. Mulai saat itu, gairah dalam pembuatan mushaf indah tampak tumbuh kembali, dan sampai saat ini telah ada beberapa mushaf, dalam bentuk naskah asli dan cetakan, yaitu Mushaf Sundawi (prakarsa Pemda Jawa Barat, 1997), Mushaf at-Tin (prakarsa keluarga mantan Presiden Soeharto untuk mengenang Ibu Tien, 2000), Mushaf Jakarta (prakarsa Pemda DKI Jakarta, 2002), dan Mushaf Kalimantan Barat (prakarsa Pemda Kalbar, 2003).
Berbeda dengan seni mushaf pada zaman dahulu yang keseluruhannya dibuat secara manual, “mushaf-mushaf kontemporer” ini dibuat dengan memanfaatkan teknologi komputer. Namun, keduanya sama-sama indah, mencerminkan kekayaan khazanah budaya bangsa Indonesia.*

Seni Penulisan Kitab di Jawa (Kajian Awal)

Ali Akbar

[Ilustrasi menyusul]

Pendahuluan
Kajian terhadap seni penulisan naskah-naskah Nusantara belum banyak dilakukan para sarjana.[1] Dalam tradisi penulisan naskah berhuruf Arab di Jawa, baik berbahasa Arab maupun Jawa (Pegon), terdapat beberapa hal yang menarik, yang mencakup permulaan, tubuh, dan akhir teks. Para penyalin mengembangkan tradisi sendiri, dengan pengaruh tradisi lokal. Kajian awal ini terutama didasarkan pada naskah-naskah koleksi Michael Abbott[2]―seorang kolektor naskah dan benda seni, tinggal di Adelaide, Australia―yang menurut pengakuannya ia beli dari Madura. Sebagian naskah tersebut kini disimpan di Art Gallery of South Australia, Adelaide. Di samping itu, kami sempat melihat sejumlah naskah berkode AW koleksi Perpustakaan Nasional RI, Jakarta[3], yang ternyata mempunyai banyak kesamaan dengan naskah-naskah Abbott. Kesamaan itu menyangkut beberapa ciri penghiasannya, kertas dluwang yang digunakan, maupun judul-judul teks dalam kitabnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa keduanya berasal dari tradisi yang sama, yaitu pesantren.[4]

Permulaan teks
Pada permulaan teks, para penyalin naskah membuat semacam hiasan. Bentuk yang paling sering digunakan adalah segi empat yang dipadu dengan bentuk segi tiga di atasnya (lihat Gambar 1, 2, 3, 4, AW.108, 111, 118). Kadang-kadang hanya berupa segi empat, dengan hiasan kecil di masing-masing keempat sudutnya (Gambar 5, AW.121), atau dipadu dengan bentuk-bentuk segitiga di atasnya, menyerupai mahkota (AW.124). Bidang-bidang tersebut dihias dengan semacam sulur atau dedaunan (Gambar 2, AW.111), motif papan catur (Gambar 10), atau dihias dengan tulisan, seperti La ilaha illa Allah dan Bismillah (Gambar 1), dan Basmalah (Gambar 7, 8), atau terkadang berupa judul kitab (Gambar 6, AW.108). Karakter tulisan yang digoreskan para penyalin atau iluminator naskah tersebut sangat unik. Kata “Allah” dalam Bismillah (Gambar 1) digayakan dengan lima lengkungan, yang secara ilma’i tentu kurang tepat. Bentuk ini mengesankan adanya pembebasan huruf, dan huruf-huruf tersebut secara sangat fleksibel menyesuaikan dengan ruang yang tersedia. Penyederhanaan tulisan “Allah” juga terlihat pada Gambar 7, 8, yang berupa lengkungan, tidak peduli dengan kelaziman tulisan. Demikian pula dengan kata ar-rahman, ar-rahim, dan huruf-huruf lainnya kotak ini. Warna yang digunakan terutama adalah merah, kuning, hitam, dan kadang-kadang coklat dan biru ― semuanya mencerminkan kesederhanaan. Sebelum permulaan teks, tulisan Bismillah ar-rahman ar-rahim (Basmalah) selalu mendapat perhatian istimewa. Para penyalin berusaha menulis Basmalah dengan indah, baik dalam gaya tulisan maupun warna, dan tampak selalu ditulis dalam satu baris. Kata pertama dalam teks juga mendapat perhatian penting, biasanya kata i’lam (ketahuilah), yang kadang-kadang ditulis satu baris, dengan ketebalan tertentu, atau pemanjangan garis setelah huruf ‘ain. (Penekanan semacam ini juga terdapat dalam naskah-naskah dari Aceh, pada huruf kaf dalam kata al-kalam dan kumulai di permulaan teks).

Tubuh teks
Pada tubuh teks, karena dalam naskah-naskah klasik biasanya tidak terdapat pembagian bab ataupun paragraf baru, pembagian wacana dilakukan dengan penekanan (highlight) pada kata-kata tertentu―yang paling populer dalam bentuk pilinan― misalnya dalam kata bab, fasal, mas’alah, qala, amma (lihat Gambar 14-22), atau al-far’u (bagian) (Gambar 23). Penekanan tersebut dengan beberapa cara, yaitu pewarnaan, dekorasi, atau pilinan huruf. Pilinan huruf-huruf tertentu dalam teks berhuruf Arab merupakan hal yang sangat populer, bahkan di seluruh kawasan Nusantara. Namun dalam naskah-naskah yang berasal dari Jawa, tradisi tersebut tampak lebih bebas dan atraktif, mungkin karena mendapat pengaruh dari tradisi tulis huruf Jawa. Pilinan kata-kata tertentu tersebut mempunyai beberapa fungsi, yaitu (1) penekanan kata-kata tertentu; (2) permulaan wacana [kata mas’alah, fasal, bab]; (3) permulaan kalimat [kata amma, qala]; dan (4) akhir teks [kata tammat].

Akhir teks
Pada akhir teks, kata wallahu a’lam (Allah lebih mengetahui), atau wallahu a’lam bis-sawab[5] (Allah lebih mengetahui yang benar)―yang dapat dikatakan hampir selalu mengakhiri teks―mendapat perhatian khusus, dengan “eksploitasi” huruf ‘ain. “Mulut” huruf ‘ain biasanya dibuat cukup besar, sehingga “mencaplok” kata wallahu (Gambar 24, 26, AW.107, 108, 110, 111, 118, 124). Ada kesan bahwa tulisan tersebut telah menjadi semacam “komposisi” tertentu, sehingga menjadi semacam “ritual” untuk mengakhiri teks. Hal itu tampak pada bentuk tulisan yang kadang-kadang sudah tidak mempedulikan satuan hurufnya, yang semestinya terdiri atas alif-‘ain-lam-mim, namun huruf lam kadang-kadang tidak lagi ditulis (Gambar 26, AW.108, 118). Pada akhir teks kadang-kadang juga terdapat tailpiece berupa hiasan sederhana, dalam berbagai bentuk (Gambar 27, 28, 29). Bentuk bingkai iluminasi tersebut dibuat simetris, mengikuti panjang-pendek baris tulisan.*

Daftar Pustaka
Behrend, T.E. 1996. “Textual Gateways: The Javanese Manuscript Tradition” dalam Ann Kumar and John H. McGlynn. 1996. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta: Lontar Foundation - New York and Tokyo: Weatherhill, Inc. Behrend, T.E. 1998. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional RI. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole francaise d’Extreme-Orient. Behrend, Tim. 2005. “Frontispiece Architecture in Ngayogyakarta: Notes on Structure and Sources” Paris: Archipel 69, pp. 39-60. Gallop, Annabel Teh. 2004. “Beautifying Jawi: Between Calligraphy and Palaeography”, Second International Conference on Malay Civilisation: Malay Images, Kuala Lumpur, Universiti Pendidikan Sultan Idris, 26-28 February.

[1] Di antara sedikit yang mengkaji aspek tulisannya, lihat Annabel Teh Gallop, “Beautifying Jawi: Between Calligraphy and Palaeography”, Second International Conference on Malay Civilisation: Malay Images, Kuala Lumpur, Universiti Pendidikan Sultan Idris, 26-28 February 2004.
[2] Semua gambar dalam lampiran makalah ini adalah foto naskah koleksi Michael Abbott.
[3] Gambar naskah berkode AW tidak saya lampirkan, dan dapat dilihat di Perpustakaan Nasional RI.
[4] Abdurrahman Wahid (AW) pada saat penyerahan naskah menyatakan bahwa naskah-naskah tersebut (semuanya 67 buah naskah) berasal dari para ulama, santri, dan anggota NU. Lihat “Kata Pengantar” dalam TE Behrend, Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional RI (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Ecole francaise d’Extreme-Orient), hlm. xvi.
[5] Kata ini sangat lazim digunakan di seluruh dunia Islam, baik oleh masyarakat awam maupun kaum intelektual, termasuk Ibn Khaldun dalam al-Muqaddimah. Dalam alam Melayu digunakan pula dalam sastra hikayat, untuk menandai akhir setiap babak cerita, seperti dalam Hikayat Indraputra.